Senin, 10 Oktober 2016

Forgetting All

“Assalamualaikum,” ucap Felly saat ia tengah membuka pintu rumahnya.
“Waalaikumussalam,” jawab Anjani. Mama Felly yang masih terduduk di ruang tamu.
“Mama! Tumben belum tidur, Ma? Biasanya, setiap Felly pulang kerja, Mama udah tidur?!,” kata Felly dengan mencium telapak tangan Mamanya.
“Pasti ada yang menganggu pikiran Mama, ya?!,” tanya Felly dengan duduk di samping Mamanya.
Anjani mengangguk perlahan dengan menatap mata putrinya. Kemudian, ia menerawang dengan melihat taman depan rumah yang masih segar dengan suara air mancur.
“Ma, Mama kenapa?!,” tanya Felly.
“Gimana sama kerjaan part time kamu? Rame nggak tadi tokonya?”
“Ma, Felly bukan nanya itu. Sekarang, Mama bilang sama Felly. Mama kenapa?”
“Kamu memang putri Mama. Tahu, aja kalau Mama lagi berbohong sama kamu.”
Felly tersenyum lega saat dugaannya benar. Dengan cepat, Ia membenarkan posisi duduknya setelah meletakkan tas kerjanya.
“Sebentar lagi kan idu fitri, Fel. Mama bingung mau ngelakuin apa?”
“Hah?! Kok bingung, Ma?! Emang Mama mau ngapain? Banyak ya, yang harus Mama lakuin di hari lebaran. Ma, tahun ini, Mama nggak masak apapun untuk makan bersama setelah kepergian nenek.”
“Bukan itu, sayang. Mama masih bingung apakah Mama ke rumah Oma (Ibu dari pihak Ayah) atau tidak? Kamu tahu kan, apa yang sudah terjadi di antara kita? Mama masih bingung harus bagaimana.”
Felly pun menghembuskan nafas beratnya. Kemudian, Ia menatap meja ruang tamu yang memantulkan wajahnya. Jauh di dalam sana, ia kembali mengingat masa-masa sulitnya yang begitu tajam dan keras.
Bagaimana tidak? Di masa itu, Mama dan Papanya sempat akan bercerai karena konflik Papanya yang selingkuh. Felly bahkan tidak pernah menyangka kalau Papanya akan setega itu menyakiti Mamanya. Padahal, Mamanya adalah orang yang benar-benar sabar dan telaten dalan menghadapi apapun.
Untuk pertama kalinya, ia dapat melihat Mamanya hampir gila karena depresi. Sehingga, Felly mengizinkan Mamanya untuk pulang ke rumah neneknya agar dapat menenangkan pikirannya dan membiarkan Papanya hidup bersamanya dengan seluruh kepolosan Felly. Dalam artian lain, Papanya hidup tanpa kewaiban seorang istri.
“Kamu, kenapa Fel?”
“Enggak kok, Ma. Felly hanya keinget aja sama masa-masa longlestnya Mama sama Papa.”
“Maafin Mama ya, sayang. Karena Mama, kamu harus menanggung semua ini.”
“Ma, semuanya udah ada di garis takdir Tuhan. Felly nggak bisa melakukan apapun selain berusaha.”
“Iya sih, tapi karena kamu juga Mama sama Papa bisa kembali lagi seperti dulu tanpa harus melewati perceraian.”
“Nggak kok, Ma. Oh ya, untuk masalah kunjungan Mama ke rumah Oma, Mama tetep aja ke sana. Oma juga bakalan mengerti bagaimana perasaan Mama dan juga posisi Mama. Mama bisa datang dengan kebiasaan Mama sekaligus meminta maaf.”
“Berarti, Mama harus bikin kue kesukaan Oma?”
Felly mengangguk mantab.
“Emang, kira-kira Oma mau makan kue buatan Mama?”
“Ma, Allah aja maha pemaaf. Masak, Oma nggak bisa maafin Mama? Lagipula, semua yang terjadi itu, bukan atas kehendak Mama dan Papa sendiri. Tapi, kehendak Allah yang menguji Mama dan Papa dalam mengaruhi bahtera rumah tangga.”
“Gitu, ya sayang?!”
Felly mengangguk lagi dengan senyuman ramah dan teduhnya.
“Ma, Idul fitri itu hari yang berkah dan penuh dengan kemenangan umat islam. Hari untuk saling memaafkan. Dan juga, hari dengan seluruh kebahagiaan umat islam. Masak sih, Mama sejahat itu untuk merusak kebahagiaan dan keberkahan hari itu dengan permusuhan yang ada di masa lalu. Ma, masa lalu itu jangan terus diingat sebagai permusuhan karena isinya emang begitu. Tapi, rubahlah sebagai pelajaran untuk menempuh kehidupan yang lebih baik.”
“Percuma juga, Ma kalau Mama lebaran-lebaran masih musuhin orang. Mertua pula. Dosa kali, Ma. Percuma Mama puasa satu bulan, tapi ujung-ujungnya masih musuhin orang. Allah nggak bakal nerima, Ma!,” ucap Dion yang muncur dari bilik tembok dengan membawa camilan dan minumannya dari dapur.
“Dion nggak bisa tidur, Ma. Udah dimeremin tapi tetep aja melek. Terus kedenger suara Mama sama Kakak. Jadilah Dion bangun. Sekalian deh, nungguin sahur. Oh ya, Papa kemana? Masih belum pulang, Ma?”
“Papa masih tidur, sayang.”
“Dasar! Kebo!”
“Hush! Papanya sendiri dibilang kebo!,” kata Felly.
“Lah, emang gitu, kan?!”
“Awas aja kamu ya?! Uang jajan di kurangi sama Papa baru tahu rasa!,” ucap Papa mereka dengan mengucek sebelah matanya.
“Papa!,” kata Dion terkejut dengan menghentikan kunyahannya dan sorotan mata yang takut.
Anjani dan Felly pun tertawa melihat Dion yang ternganga. Hingga akhirnya, mereka berkumpul dalam kehangatan keluarga di malam bulan Ramadhan dengan dinginnya ice cream coklat dan juga camilan ringan dan renyahnya tawa keluarga..


"SELESAI"

Ice Cream Story

Papa baru saja dipecat dari perusahannya, setiap hari dia berusaha untuk mendapatkan pekerjaan tapi tak kunjung dapat juga.
“Adnan, gimana nih, SPPku harus dilunasi minggu depan, tapi papaku tak punya sedikit pun uang” jelasku.
“Gimana kalau kau buka usaha, misalnya ice cream mungkin? Kita kan bisa jual di taman sore hari!” Balas Adnan.
“Ide bagus, mumpung aku punya uang tabungan hehehe!” Kataku setuju.
Siang sepulang sekolah kami menuju ke supermarket, kami membeli bahan bahan membuat ice cream, tak lupa cokelat sebagai pelengkap.
“Total belanjaannya tujuh puluh delapan ribu sembilan ratus!” Ucap sang kasir.
“Ini mbak!” Balasku sambil memberikan uang.
“Kita bikinnya di rumahku saja ya! Besok kan hari minggu jadi kita jual deh!” Kata Adnan.
“Iya setuju!” Balasku.
Kami sibuk membuat ice cream, kami mencari resepnya di internet, dan kami berhasil membuatnya!
“Gimana mah? Enak nggak?” Tanya Adnan pada mamanya.
“Kevin dan Adnan memang jago ya! Enak banget!” Balas mama Adnan.
Keesokan harinya kami berangkat ke taman, ternyata banyak pengunjung yang penasaran dengan ice cream yang kami buat, alhasil kami memperoleh banyak uang!
“Ini jatahmu nan!” Kataku.
“Kevin, kan kamu lebih butuh, sebaiknya simpan saja untuk keperluan sekolahmu ya!” Balas Adnan.
“Terima kasih banyak Adnan, kamu memang sahabatku yang terbaik di dunia ini!” Balasku.

"SELESAI"

Butterfly and Rose

Seekor kupu-kupu masuk dari jendela kamarku, ia lalu hinggap pada setangkai mawar merah dalam vas di meja belajar. Sayap birunya yang indah mengepak-ngepak dengan gemulai di atas mahkota sang mawar. Keindahan di sudut kamarku itu berbanding terbalik dengan diriku yang kini hanya meringkuk di kasur, tapi dengan mata sembab ini aku tetap menatap keindahan itu dalam diam.
Namun nekat, aku berdiri lalu melangkah perlahan untuk menyentuh sang kupu-kupu biru. Belum juga jemariku menjangkaunya, sang kupu-kupu telah membentangkan sayapnya dan terbang dengan cepat. Pergi dan hanya meninggalkan setangkai mawar dan kekecewaan di hatiku.
“Kau pun sama halnya dengan kupu-kupu, indah, namun saat kudekati engkau malah menjauh” Kataku sambil menatap foto berbingkai yang di dalamnya terpotret wajahku dan Adimas, lelaki yang kukagumi sejak dulu.
“Sarah, udah siap belum?” tanya Adimas dari teras rumah. Pagi-pagi dia sudah datang untuk berangkat sekolah bersamaku, dan karena dia bawa sepeda tentu saja aku yang dia boncengkan. “Sudah, ini tinggal pakai sepatu kok” Sahutku sambil memasang sepatu dan mengikatnya simpul.
“Cepetan! Nanti kalau sampai telat aku kalungin kamu pake belut sawah” Ancamnya. “Heleh, gak sadar diri. Bukannya kamu yang gak berani megang belut?” Aku membalasnya dengan sedikit candaan. Setelah mengecek kelengkapan sekolahku di dalam tas dan seragamku yang rapi, aku segera ke luar untuk menemui Adimas.
“Yuk ah, udah jam segini” Katanya lalu mulai menaiki sepeda dan menepuk-nepuk boncengan sepeda itu mempersilakan diriku naik. Tanpa pikir panjang aku segera duduk membonceng, ia pun mengayuh sepeda dengan perlahan. Angin yang lembut berhembus menerbangkan beberapa helai rambutku ke udara.
“Sarah, Mawar yang kuberikan kemaren masih bagus kan?” Tanya Adimas, matanya masih menghadap ke depan. Aku berpikir sejenak “Ouh, mawarnya masih bagus kok. Segar dan wangi, aku beri air es dalam vasnya sih. Hehe” Kataku sedikit narsis. Ia nampak mendengus geli, “Kukira mawarnya akan berakhir dalam sehari saja, ternyata kau cukup mahir merawat bunga juga ya”. Hei, kenapa ucapannya menjadi sebuah ejekan?.
Belum juga aku protes, kami sudah sampai di gerbang sekolah. Dia pun berhenti, aku turun dan membantunya menuntun sepeda sampai parkiran. “ok, bye. Ingat nanti malam lo ya!” katanya sambil menunjuk wajahku, aku jadi makin jengkel terhadapnya. Namun sayangnya lagi, belum juga aku semprot dia dengan protesanku ia sudah lari duluan ke kelasnya.
“Huft, nyebelin!” sungutku sambil berjalan ke kelasku dengan langkah yang menghentak-hentak karena marah. “Ini beneran Sarah si santai? Kok langkahnya menghentak kayak anak Paskibra?” Tanya sahabatku saat aku melangkah di kelas menuju kursiku di sampingnya. “Tenang Lia, aku masih seperti yang dulu kok. Cuma yang beda itu si Adimas, dia makin hari makin nyebelin tahu gak?” kataku sambil menghempaskan diri di kursi. Lia tertawa maklum mendengarnya, bel masuk sudah berbunyi. Aku dan Lia segera menyiapkan buku untuk mapel pertama hari sabtu ini.
Malam ini langitnya cerah, bintang-bintang berkerlip indah di sekeliling sang bulan yang tersenyum malu. Aku duduk di teras sambil menggenggam setangkai mawar merah yang telah kukemas cantik dengan diikat oleh seutas pita. Aku menunggu Adimas, ya, menunggu lelaki tampan yang ramah pada siapa saja itu.
Deru sepeda motor terdengar mendekat, semakin jelas sampai berhenti saat tiba di pekarangan rumah. Adimas turun dari motornya lalu menghampiriku. Ia menggenakan kemeja kotak-kotak berwarna hitam dan celana jeans membalut kakinya. Ia nampak begitu gagah dan maskulin.
“Bagaimana? Keren kan?” tanyanya sambil memutarkan badan di hadapanku. “keren kok, keren deh” sahutku sekenanya. Tapi aku langsung mendekatinya, tanganku meraih kerah kemejanya dan membenahinya “Kerahmu tadi tertekuk, tapi sekarang udah rapi kok” kataku sambil menatapnya, mata kami bertatapan. Namun buru-buru aku melepaskan diri darinya.
“ini mawarnya” kataku sambil menyerahkan mawar itu padanya. “wah, makasih ya. Mana udah mau repot-repot ngerawat dan bungkusin pula” katanya sambil tersenyum padaku. “gak papa, tapi kenapa kamu beli mawarnya kemarin? Bukannya lebih baik belinya hari ini? Biar lebih segar begitu” sahutku. “Soalnya kemaren mawarnya tinggal satu ini doang, takut kehabisan aku beli sekalian aja deh” jawanya polos, kini aku hanya ber ‘ooh’ ria.
“Yaudah, sana buruan berangkat. Keburu gebetanmu ditikung jomblo kesepian loh. Hahaha” Godaku sambil menyikutnya. “Heee! Sarah kejam, tega banget sih kamu sama temanmu dari kecil ini huh?. Tapi gak papa deh, pasti Doi bakal seneng saat kukasih surprise beginian. Doain semoga tembakanku tepat sasaran dan berakhir pacaran oke?” katanya dengan semangat, aku hanya tersenyum melihat tingkahnya.
“Tentu saja, semoga lancar” sahutku, ia pun pamit dan menaiki motornya untuk pergi. Deru motor itu semakin menjauh, suaranya semakin lirih menyisakan sepi. Meski begitu aku tetap tak bergeming menatap kemana arahnya pergi.
Sebanyak apapun aku berjuang untuknya, sebanyak apapun waktuku bersamanya, dan sebanyak apapun aku mengerti tentang dirinya. Tidak bisa menjamin bahwa dia akan mencintaiku selayaknya aku terus mencintainya dalam diam. Sekali lagi air mataku mengalir membasahi pipi. Ia kupu-kupu yang menarik, tentu wajar jika ia mencari bunga yang cantik. Dan aku sadar bahwa aku bukanlah bunga yang ia cari, aku hanya orang yang menemani hari-harinya, bukan orang yang mengisi hatinya.
Semakin aku berjuang, semakin ia menjauh dan pergi dari sisiku. Masa mudaku memang penuh dengan kisah cinta, kisah cinta bertepuk sebelah tangan yang pedih. Tapi setidaknya dengan begini hatiku tidak terasa sepi dan dingin. Karena sudah terisi oleh cinta pada sang kupu-kupu yang tak akan pernah kuraih.

"SELESAI"

Listen To The Sound Of My Heart.

“Dengar.. dengar suaraku memanggil namamu!!!
Kau dimana, bisakah kita tetap bersama selalu? Dapatkah aku menggapaimu? Mungkinkah kau juga merasakan yang kurasakan kini?
Ahhkkk… sungguh terlalu…!!! Kau memang berada dekat di sampingku, namun kau terasa jauh…!! Aku hanya bisa mengagumimu dari sini.. yahh, inilah tempat yang cocok untukku agar ku bisa memandangmu sepuasnya!! Rey.. kau yang terindah!!!”

“Ciliaaa… banguunn, woiii bangun dong!! udah malam tauu!! mau terlambat lagi kamu hah?” Terdengar suara Mia memanggilku dari luar kamar. Dia memang seperti itu, galak, emosian, tapi dia baik kok orangnya. Rasanya aku masih malas untuk bangun. Tapi aku tak tahan lagi mendengar Mia tak henti-hentinya menggendor pintu kamarku. Dengan kesal aku pun membukakan pintu untuknya.
“Ngapain sih kamu? Bangunin orang lagi tidur aja.. dasar gak sopan!”
“Iihh, kamu yahh bukannya bilang terima kasih kek udah bangunin malah ngatain aku kayak gitu. Sebel dehh! memangnya kamu gak mau datang yah ke acara ultahnya Veby sebentar?
“Gak tau tuh..” Jawabku sekenanya, kembali aku berbaring di ranjangku membuat Mia tambah naik pitam lagi kayak emak-emak saja.. hehee..
“Whaattt? yang bener lo? Terus buat apa aku capek-capek dandan kayak gini kalau kamunya gak mau pergi sih? Kamu gimana sih, katanya mau pergi, tapi gak jadi.” Dia ngambek terus gak henti-hentinya bikin kupingku panas saja..
“Yahh, aku mau pergi sih sebenarnya.. tapi…”
“Tapi apa?” Tanya Mia kesal.
“Hmm.. tapi kan masih sore.. belum jam 5 kan?”
“Ada baiknya kan udah bersiap-siap dari sekarang. Kan kamu kalo mau siap-siap butuh waktu 100 tahun baru selesai!! udah cepetan bangun sana, jangan tidur melulu.”
“Enak aja lo! Sembarangan aja ngomongnya! Kataku sambil melempar bantal ke arah Mia. Tapi dia bisa menepisnya. Maklumlah, Mia kan jago karate meskipun dia centilnya minta ampun.
“Udah cepatan dong. Jangan pake lama. Aku tunggu sambil main game di laptop yah. Boleh kan?”
“Gak boleh!!” kataku bergurau. Karena gak tahan dengan paksaan Mia, akhirnya aku pun bergegas ke kamar mandi meskipun masih pukul 4.45. Mia menungguku di kamar sambil mengacak-acak laptopku.
Selesai mandi, aku pun meminta Mia memilihkan gaun yang cocok untukku. Dia pun mendandaniku layaknya seorang ibu yang mengurus anaknya. Oh iya aku lupa memperkenalkan diriku.
Hmm, namaku Patricia Gayatri Griffith. Nama panggilanku Cilia. Sekarang aku tinggal di rumah kami di Surabaya. Yang menjagaku selama di sini adalah pembantu kami Mbok Lani dan Bang Ari. Kadang-kadang anaknya Mbok Lani dari kampung datang berkunjung kesini sehingga rumahku jadi sedikit ramai. Maklumlah aku kan kesepian. Kedua orangtuaku ada di Bali karena rumah kami memang di sana. Dan juga mereka mengelolah Hotel kami yang di sana. Aku kuliah di Surabaya karena aku tidak mau mengurus hotel. Aku hanya ingin jadi guru saja. Itulah cita-citaku sejak kecil. Untunglah kedua orangtuaku mendukungku tapi dengan syarat aku harus berhasil lulus dengan nilai yang memuaskan.
Temanku namanya Mia Lestari Sanjay. Kami kenal sejak pertama kali mendaftar di kampus. Dan mulai dari situlah kami menjadi akrab. Rumahnya ternyata tidak jauh dari rumahku, hanya 2 meter saja. Jadi bisa jalan kaki juga kalau mau. Tidak terasa kami sudah memasuki semester 6. Padahal rasanya Ospek baru kemarin.
Hidupku boleh dibilang punya segalanya soal materi. Namun dibalik semua itu ada yang mengusik pikiranku. Yaitu soal cinta!! Yahh sudah 3 tahun aku menjomblo semenjak putus dengan Rey. Sampai sekarang aku masih merindukannya namun apa boleh buat dia sudah pergi meninggalkanku. Hanya kesalah pahaman kecil yang membuat kami harus berpisah. Aku tak tahu apakah aku yang terlalu egois ataukah dia yang terlalu cuek!! sejak itu aku mulai menutup pintu hatiku untuk yang lain. Aku takut mereka akan meninggalkanku lagi sama seperti Rey. Luka hati yang kupendam selama ini melahirkan sebuah trauma yang amat dalam terhadap cinta! walau dalam hati tak bisa kupungkiri aku masih ingin di samping Rey!!
“Nah, udah selesai dandananya. Makin cantik aja nih tuan putri!” Mia menggodaku lagi, aku tersenyum sambil memandangi wajahku di cermin.
“Makasih Mia sayang. Kamu emang paling hebat yah soal yang beginian. Hehehe..”
“Iya, masama tuan putri. Oh iya, kalo gitu kita buruan pergi yuk. Ntar telat lagi ke pesta. Udah jam 6 nih.”
“Oke. Tapi aku mau beresin peralatan make-up aku dulu dong. Kamu tunggu di mobil aja dulu. Nanti aku nyusul kamu.”
“Siipp.. cepetan yah Cil, jangan pake lama!” Dia mengacungkan jempolnya seraya melangkah ke luar dari kamarku. Aku pun membereskan semua peralatan make-upku. Setelah selesai aku menyusul Mia yang sudah menungguku di mobilnya.
“Bang.. aku keluar dulu yah. Jangan lupa tutup pagarnya.” Aku berpamitan pada Bang Ari yang ternyata baru selesai menyiram tanaman di pekarangan. “Oh, iya Non. Hati-hati di jalan Non.” “Iya, Bang. Makasih.”
Akhirnya, kami berdua pun berangkat menuju rumah Veby.
Malam Kelabu
Pesta yang dilaksanakan di rumah Veby begitu meriah. Ternyata sudah banyak teman-teman yang datang, untung saja kami berdua tidak terlambat.
“Hay, Cil.. Mia.. makasih yah udah datang.” Veby menghampiriku dan Mia yang baru saja tiba.
“Hay, Bii.. Mat ultah yah sayang!” Kataku sambil menyalami Veby. Mia juga tak ketinggalan menyalaminya..
“Mat ultah Bii..”
“Iya, makasih. Udah yuk masuk aja ke dalem. Acaranya udah mau dimulai bentar lagi.”
“Oke dehh!” Ucap Mia sambil menggandeng tanganku dan pergi untuk bergabung dengan teman-teman yang lain.
Tak lama kemudian pestanya pun dimulai. Mulai dari kata sambutan dari MC hingga pemotongan dan peniupan lilin semua berjalan lancar. Namun, saat tiba saatnya pada acara pemecahan balon hukuman untuk pasangan, aku dikejutkan oleh pemandangan yang hampir membuatku berteriak histeris.
“Oke, saat ini saya mengundang kedua pasangan yang paling romantis malam ini untuk maju ke depan. Langsung saja Kita panggil, Rey dan laras! Mari beri tepuk tangan yang meriah!” teriak MC dengan semangatnya. Semua bertepuk tangan dan bersorak gembira sambil menggoda mereka berdua.
“Cil.. kirain kamu sama Rey yang akan dipanggil.” Goda Mia padaku.
“Saraap kali lo! udah ahh jangan ungkit masalah itu lagi. Lagian kita berdua udah lama putus kan?” Jawabku kesal.
“Iyaa deh. Maaf, tapi jangan ngambek gitu dong. Nanti cepat tua lohh!!”
“Gak kok. Gak ada gunanya ingat masa lalu.” Lagi-lagi aku berpura-pura cuek, seakan tak peduli dengan apa yang terjadi di depanku saat ini. Aku tertawa namun dalam hatiku aku sangat terluka.
“Baguslah.. hehee..” celetuk Mia.
Di tengah meriahnya pesta malam itu, semua menikmati kegembiraan masing-masing. Namun mereka tak menyangka ada hati yang tengah gundah. Dalam canda dan tawaku ada tangis yang kutahan, dalam senyum bahagiaku ada luka yang kupendam. Hati ini sungguh terluka, aku tersakiti, cinta yang selama ini kusimpan rapat-rapat telah menghancurkanku berkali-kali. Ingin kukubur semua kenanganku bersama Rey, namun apa daya semakin kulupakan semakin aku merindukannya. Hingga sampai pesta selesai, masih terlintas senyum bahagia Rey saat memandang Laras yang di sampingnya. Ingin rasanya aku teriak bahwa bukan Laras yang harus mendapatkan senyum itu tapi aku tak bisa.
Rey.. bisakah kau dengar suara hatiku saat ini? Dapatkah kau merasakannya seperti dulu? Tak bisakah kau beri kesempatan kedua untukku agar ku bisa memperbaiki semua kesalah pahaman di antara kita?
Begitu banyak pertanyaan yang muncul di benakku, namun tak satu pun yang terjawab hingga saat ini!!!

"Selesai.

SEPATU HITAM DI BALIK JENDELA

“Kringg… kringg… kring..” suara alarm membangunkan Alya. Terkejut ia setelah melihat jam tepat menunjukkan pukul 07.00. Ia langsung melompat dari kamar tidurnya. Langsung diambil handuk di luar kamar mandi. Dengan begitu sigap ia selesaikan mandinya. Ini mungkin akan membuatnya terkena marah Salwa, karena hari ini ia berjanji akan menemani Salwa ke toko buku jam 07.00 tepat. Ia juga meninggalkan sholat Shubuh hari ini. Memang sial benar nasib Alya hari ini. Sepatu yang hendak ia pakai belum juga ia ambil dari rak. Padahal Alya sama sekali tidak menyukai sepatu. Baginya sepatu itu layaknya monster, namun ia selalu memaksakan untuk memakainya.
“Bunda, bantu aku memakai ini, ini begitu sulit bagiku,” teriak Alya yang hendak mengenakan sepatu dari kamarnya. Ibunya yang mendengar itu hanya senyum-senyum sembari menggelengkan kepalanya. “Kamu ini Alya selalu begitu, pasti kamu juga meninggalkan sholat Shubuh hari ini, iya kan?” jawab ibu Alya berjalan mendekatinya. “Ah, Bunda bantu aku dulu, aku sedang terburu-buru. Iya Bunda, Alya minta maaf tadi Alya meninggalkan sholat Shubuh.” sahut Alya dengan nada teramat menyesal. Ibu Alya langsung membantunya menalikan tali sepatu anak satu-satunya itu.
Lalu ia ambil dompet yang ada di meja belajarnya kemudian berlalu ke luar meninggalkan ibunya. “Ibu Alya berangkat, Alya sedang buru-buru.” teriak Alya menuju ke luar rumah.
Sampai di depan rumah Salwa, Alya nampak berjalan mengendap-endap mendekati Salwa. “Alya…” panggil Salwa dengan nada menekan. Alya pun tersenyum mendengar itu. “Pasti ini akan terjadi, kamu ini Al dari dulu tidak pernah berubah.” tambah Salwa. Iapun membalasnya dengan senyum merayu Salwa agar tidak marah. Salwa pun sudah paham betul dengan sikap Alya jadi dia hanya menghela nafas panjang. Akhirnya keduanya pun bergegas untuk segera berangkat.
Di tengah-tengah perjalanan, Alya nampak melihat sepatu Salwa. “Mengapa kamu menatap sepatuku seperti itu Al, ada yang salah ya?” tanya Salwa dengan keheranan. “Emm, tidak kok, ayo cepat Al keburu siang nanti,” jawab Alya terlihat menyembunyikan sesuatu sambil menarik tangan Salwa. Sesampainya di toko buku seperti biasa Alya berpisah dengan Salwa. Ia mencoba mencari novel-novel kesukaannya di lantai 2. Sedangkan Salwa mencoba mencari buku-buku tentang kimia di lantai 1. Hal ini sudah tidak asing lagi bagi keduanya. Mereka selalu melakukan hal itu setiap kali pergi bersama ke toko buku.
Di lantai 2 Alya sibuk membaca-baca novel kesukaannya. Sampai-sampai ia tidak menyadari hari sudah hampir siang. Salwa mencoba mencari Alya di lantai 2, namun ia tidak juga menemukannya. Di tempat rak-rak buku novel, Salwa juga tidak menemukan Alya, lalu kemana dia pergi. Ternyata Alya baru saja dari kamar mandi, ia mencoba untuk meminta maaf pada Salwa karena telah menunggunya lama tadi. Baru saja dua langkah ke depan Alya tiba-tiba saja jatuh tersungkur di depan Salwa. Semua pandangan tertuju pada Alya.
Seketika wajah Alya memerah, sambil mencoba untuk bangkit dibantu Salwa. Salwa pun merasa bingung dengan Alya mengapa dia hari ini begitu aneh. Dengan cepat Alya menarik tangan Salwa menuju ke kamar mandi. Dengan tali sepatunya yang terlepas ia mencoba untuk menahan itu dan segera ke kamar mandi. “Alya ada apa denganmu kamu terlihat begitu aneh hari ini, itu juga tali sepatu kamu terlepas, taliin gi,” ucap Salwa. Alya mencoba menjelaskan semuanya pada Salwa mengenai semua rahasia yang ia miliki. Mendengar itu Salwa begitu terkejut dan lucu, hal ini membuat Salwa menertawakan Alya. Karena respon Salwa yang seakan mengejek, Alya pun berubah menjadi marah. “Kamu ini Sal tidak setia kawan, aku marah sama kamu,” kata Alya sembari memalingkan mukanya. “Beneran kamu mau marah sama aku, terus yang bantuin kamu taliin sepatu kamu siapa?” jawab Salwa meledek. Akhirnya Alya dengan terpaksa menarik kata-katanya itu dan mencoba merayu Salwa. Dan pada akhirnya Salwa mulai membantu Alya menalikan tali sepatunya yang terlepas. Kemudian mengajak Alya pulang.
Sepanjang perjalanan Salwa terus-terusan menanyai Alya tentang keanehannya itu. Akan tetapi Alya menjawab dengan begitu dingin dan berjalan agak depan dari Salwa mencoba untuk menjauhinya.
“Alya, iya-iya aku minta maaf, aku janji nggak akan ngeledek lagi kok,” seru Salwa.
Alya seketika berhenti dan menoleh ke belakang sembari tersenyum. Keduanya saling bercanda di sepanjang perjalanan pulang.
Setelah sampai di rumah, Alya nampak begitu lesu. Dilempar sepatu yang ia kenakan itu ke luar rumah. Dan mengenai ayahnya yang baru pulang dari kantor. Tetapi tanpa meminta maaf Alya langsung berlari menuju kamarnya. Ayah Alya sudah menebak watak putrinya yang tidak pernah berubah itu dan tetap melanjutkan jalannya.
Di kamarnya yang cukup luas, ia melihat keadaan sekeliling yang nampak berantakan. Ini semua membuat Alya semakin naik darah, dan memarahi pembantunya. Ibunya yang mendengar ada keributan di kamar Alya segera menuju kesana, diikuti juga ayahnya. Bukan pembantunya yang kena marah melainkan Alya yang sikapnya selalu saja kekanak-kanakan itu. Setelah keributan mereda semua pergi meninggalkan kamar Alya kecuali Alya. Dia mencoba melupakan semuanya dengan merebahkan badannya di kasur. Baru beberapa menit ia langsung terlelap. Ia bermimpi ada sebuah sepatu besar yang menjatuhinya. Alya pun langsung terbangun sembari berteriak kencang. Teriakannya itu membuat ayah dan ibunya kaget dan mencoba menghampiri Alya untuk memastikan apa yang terjadi.
Setelah Alya menceritakan semua, ayah dan ibunya tertawa dan mencoba untuk menenangkannya karena itu semua hanya mimpi. Segera Alya menyuruh ibunya untuk menyimpan semua sepatu-sepatunya kecuali sepatu yang tidak bertali. Ia beranggapan semua itu layaknya monster yang selalu saja menghantuinya. Akhirnya setelah tenang kembali, Alya melanjutkan untuk tidur siang.
Sore itu, untuk menikmati sunrise, Alya mengajak ayahnya jalan-jalan di dekat alun-alun yang tidak jauh dari rumahnya. Sesampainya di alun-alun keadaan terlihat ramai. Di setiap sudut alun-alun terdapat berbagai jenis makanan yang diperdagangkan.
“Al, ayah mau beli minum dulu, ayah haus kamu disini atau ikut?” tanya ayah Alya.
“Tidak Yah, aku disini saja duduk, aku sedang tidak ingin kemana-mana,” jawab Alya loyo.
Setelah ayahnya beranjak pergi, pikirannya terbesit suatu kekonyolan mengenai mimpinya tadi. Dia pun dengan segera menghilangkan pikiran-pikiran anehnya itu. Tiba-tiba saja ada sebuah sepatu yang terlempar dan itu mengenai kepala Alya. Dia merasa kesakitan, kepalanya juga pusing. Sekaligus juga ia menahan marah, Alya pun hanya tersenyum melihat orang-orang di sekitarnya.
“Aduh sepatu siapa ini, sakit,” batin Alya sambil memegangi kepalanya yang masih sakit.
“Kamu kenapa Al?”, tanya ayahnya yang kembali dari membeli minum.
“Ini yah, tadi aku terkena lemparan sepatu, entah siapa yang melempar,” jawab Alya.
“Ya sudah lah Al, mungkin ini teguran buat kamu, ini minum dulu pasti kamu juga haus kan?” sambung ayahnya
“Maksud ayah?” sahut Alya lagi penasaran.
Kemudian ayahnya tidak melanjutkan menjawab dan segera mengajaknya pulang karena hari juga sudah hampir larut. Bintang malam juga mengedip pada Alya mengajaknya untuk segera pulang dan melupakan kejadian tadi. Sebelum pulang Alya mengambil sepatu itu dan hendak untuk membuangnya nanti. Di sepanjang perjalanan, ia tidak henti-hentinya memikirkan ucapan ayahnya tadi yang belum sempat terjawab.
“Teguran? Teguran apa yang dimaksud oleh ayah,” bantinnya dalam hati.
Dengan segera ia percepat langkahnya menyusul ayahnya yang sudah ada di depannya.
Kemudian setelah sampai di rumah, Alya ingin segera membuang sepatu yang mengenainya tadi. Lalu tiba-tiba saja pikirannya itu berubah, mungkin ada sesuatu yang bisa merubah hidupnya. Atau ada hikmah di balik sepatu itu. Sehingga ia mengurungkan niatnya untuk membuang sepatu itu.
Keesokan harinya udara masih nampak segar menyelimuti sekitaran, hari ini Alya yang hendak pergi sekolah sudah terpejam dari waktu Shubuh tadi. Tidak seperti biasa yang selalu bangun kesiangan. Dia juga nampak berbeda hari ini tidak teriak-teriak lagi dan mulai bersifat lemah lembut. Sesekali ia mondar-mandir tanpa tujuan yang jelas. Sempat juga ia memandangi sepatu hitam yang mengenainya sore kemarin, ia nampak heran dengan sepatu itu yang nampak kesepian karena sebelahnya tidak ada. Dia mencoba meletakkan sepatu itu di dekat kaca, ia berpikiran mungkin dengan itu sepatunya tidak akan kesepian lagi. Karena pasti ada bayangan dari sepatu itu seolah-olah menjadi dua bagian atau sudah menjadi sepasang sepatu yang lengkap.
Setelah itu Alya menunggui ayahnya di mobil untuk berangkat ke sekolah. Saat ayahnya sampai di mobil, ayahnya nampak tercengang melihat Alya yang tidak biasa seperti itu. Ayahnya hanya tersenyum melihat perubahan anaknya itu. Di sepanjang perjalanan Alya juga tidak merengek seperti apa yang selalu ia lakukan. Ia terlihat diam sembari memandangi keramaian jalan ibukota. Setelah sampai di sekolah, wajahnya nampak lempeng-lempeng saja seperti tidak ada gairah untuk hidup. Setelah berpamitan dengan ayahnya, Alya langsung masuk ke dalam sekolah.
Tiba-tiba dari arah belakang, datang Salwa yang mengejutkan dirinya. Alya hanya menyenggol Salwa pelan karena merasa terkejut. Salwa hanya bengong melihat tingkah kawannya yang aneh hari ini. “Ada apa dengangmu Al? Kenapa sikapmu tidak seperti biasa, biasanya kan kamu sering marah-marah.” tanya Salwa pada Alya. “Ahh tidak kok Sal, mungkin itu hanya perasaanmu saja,” jawabnya dengan tenang. Salwa masih heran sembari memandangi sahabatnya itu dengan begitu seksama. Mereka berdua langsung bergegas menuju ke kelas.
Ketika jam tanda masuk sekolah sudah berbunyi semua siswa segera masuk ke kelas masing-masing begitu juga dengan Alya dan Salwa yang kebetulan juga satu kelas. Pelajaran pertama adalah pelajaran musik, pelajaran yang selalu dinanti oleh anak-anak. Kebetulan juga hari ini pengambilan nilai bermain alat musik solo. Alya terlihat pucat dan gemetaran. Salwa menyenggolnya untuk memastikan ia baik-baik saja.
“Kamu sudah siap kan Al?” tanya Salwa
“Emm, aku tidak yakin Sal, aku rasa aku begitu nervous hari ini,” jawab Alya sembari memainkan jari-jarinya untuk menutupi rasa nervousnya.
Setelah nama Alya dipanggil ia tampil ke depan. Mukanya masih terlihat pucat karena nervous. Ia mencoba menenangkan pikiran dan hatinya, dengan menikmati permainan alat musiknya yaitu biola. Nampaknya Alya begitu menghayati setiap nada-nada yang ia mainkan, guru musiknya juga terlihat begitu tercengang. Melihat perubahan drastis yang ditunjukkan Alya. Setelah selesai, semua teman-temannya memberinya tepuk tangan dengan begitu meriah dan haru, karena lagu yang ia bawakan sampai-sampai bisa menyayat hingga ke hati.
“Wah, Al kamu keren, bagaimana kamu bisa melakukan itu? Itu membuatku hampir menangis Al?” tanya Salwa dengan penasaran.
“Kamu Sal, itu terlalu berlebihan padahalkan hanya biasa saja,” jawabnya menyangkal.
Setelah pelajaran selesai semua murid kembali ke kelas, sembari merapikan buku-buku mereka karena sebentar lagi bel pulang sekolah akan segera dibunyikan. Salwa dan Alya masih sibuk dengan buku-buku mereka sendiri-sendiri. “Sal, nanti kita pulang bareng ya.” ajak Alya. “Tumben Al, kan biasanya kamu dijemput sopir kamu,” jawab Salwa dengan nada ragu. “Ternyata bosen juga Sal kalau harus dijemput terus, nanti biar aku kasih tahu sopir aku biar nggak jemput, nggak papa kan Sal?” rayu Alya. “Tidak masalah sih, hari ini kayaknya aku juga tidak di jemput.” jawab Salwa.
Keduanya akhirnya pulang bersama dengan menaiki angkutan umum, memang terlihat tidak biasa bagi keduanya. Namun bagi keduanya itu adalah pengalaman baru yang belum pernah mereka dapatkan sebelumnya. Benar saja, meskipun dalam kondisi sumpek dan pengap mereka malah saling bercanda dan tertawa. Merasa Alya yang seperti ini Salwa senang karena ia tidak harus menjadi seperti yang lebih tua dari Alya lagi. Mungkin karena sepatu kemarin yang mengenai Alya, itu semua mungkin teguran baginya. Dan itu yang membuatnya tersadar akan sifatnya yang selalu kekanak-kanakan.
Sesampainya di gang depan rumah mereka turun dari angkutan. Keduanya berpisah disitu karena arah rumah mereka yang tidak searah. Ketika Alya mulai berjalan agak jauh, tali sepatunya tiba-tiba saja lepas. Karena hari ini terpaksa ia harus mengenakannya lagi karena peraturan sekolah yang tidak boleh ia langgar. Namun kini ia sudah mulai terbiasa dengan sepatu bertali. Kemudian ia langsung duduk untuk membenahinya. Dari arah yang berlawanan nampak ada seseorang yang coba membantunya. Alya pikir itu siapa karena sebelumnya ia belum pernah melihat orang itu.
“Sini biar saya bantu Nak, kamu terlihat kerepotan, kalau kamu bayangkan sepatu ini hendaknya kamu bersyukur karena sepatu yang melindungi kamu, ini layaknya kedua orangtuamu, dan sepasang sepatu ini mengibaratkan kita yang tidak bisa hidup jika hanya sendiri dan tentunya selalu membutuhkan yang lainnya yang cocok dengannya, lalu tali ini yang mengikatmu rapat-rapat agar kamu tidak terjatuh, ini ibaratkan sahabatmu yang selalu menemanimu disaat kamu terjatuh dan mencoba membantumu agar kamu tidak terjatuh lagi. Jadi patutnya kita harus belajar dari sepatu. Meskipun terlihat kecil namun memiliki makna yang luar biasa.” Kata seorang wanita setengah baya yang membantunya menalikan sepatu Alya.
Mendengar semua itu, hati Alya seakan baru saja dibuka. Ia terlihat amat menyesal dengan sikapnya yang selalu saja bodoh. Setelah mengucapkan terima kasih, ia segera berlalu sambil menahan air matanya yang seakan mulai membasahi matanya. Dengan segera ia berlari menuju ke rumah. Tiba-tiba saja ia langsung memeluk ibunya yang sedang melihat-lihat tanaman kesayangannya. Ibunya kaget, apa yang telah terjadi pada Alya. Alya juga menangis dan mulai mengeratkan pelukannya. Ibunya hanya bisa bernafas lega, dan mencoba untuk menenangkan Alya untuk menghentikan tangisannya.
Ibunya mengajak Alya masuk karena tidak enak dilihat tetangganya. Dengan segera Alya langsung meminta maaf, ayah Alya yang berada di luar rumah mulai mempercepat langkahnya untuk segera masuk. Disitupun Alya mulai meluapkan semua kebodohannya selama ini dengan memeluk kedua orangtuanya dengan terus-terusan meminta maaf. Kedua orangtuanya pun juga memeluk Alya erat sembari memberikan kata pemberian maaf yang tulus. Karena selama ini mereka sudah memaafkan Alya. Sekarang Alya telah tumbuh menjadi gadis yang lebih bijaksana dan lemah lembut ketika ia dihadapkan pada suatu masalah.
“Ya, karena sepatu hitam ini, aku sadar walau dulunya seperti monster bagiku namun sekarang telah menjadi cermin bagiku untuk berkaca tentang bagaimana diriku. Aku juga tidak akan membiarkan sepatu ini kesepian sehingga aku letakkannya di dekat kaca jendela. Agar terlihat mereka berdua, seperti layaknya sepasang sepatu yang selalu menginspirasiku.”

"Selesai.

PENSIL KEBAHAGIAAN.

Pada suatu hari, hiduplah seorang anak bernama Sanafika Dirsya. Bersekolah di SDSN Ceria dan duduk di kelas 5. Ia dikenal sebagai pemalas dan sering mendapat nilai jelek baik tugas maupun latihan. Tapi, Sanaf tetaplah Sanaf, tak ingin berubah menjadi lebih baik.
Di rumah, Sanaf menatap tajam kertas ulangan yang dipegangnya. “Haruskah nilai jelek yang tertera di kertas ini? Menyebalkan!” kesal Sanaf dan meremas kertas itu lalu membuangnya dengan asal. “Sanaf, kamu kenapa?” tiba-tiba mama sudah ada di dekatnya. “Aku gak apa-apa!” bohong Sanaf. “Kalau baik-baik saja, mengapa kamu meremas dan membuang kertas ini?” tanya mama sambil memegang remasan kertas yang dibuang Sanaf. Sanaf terkejut karena mama memegang kertas ulangannya. “Maaf ma, aku akan membuangnya!” ujar Sanaf dan ingin meraih kertas tersebut dari mama namun beliau menghindar lalu melihat isi kertas.
“Oh, ini nilai ulanganmu!” seru mama sambil menggelengkan kepala. Sanaf menundukkan kepala. Ia merasa bersalah. “Kenapa kamu membuangnya?”, “Aku gak mau mama marah!” tegas Sanaf. Mama mengangguk lalu memberikan sebuah pensil untuk Sanaf. “Ini pensil kebahagiaan. Dulu, mama pakai ini dan nilai selama bersekolah bagus. Tapi, mama harus belajar agar pensil ini mau membantu mama. Kalau mama gak belajar, pensil ini tidak mau membantu sama sekali. Sekarang pensil ini untukmu!” Sanaf heran menatap pensil itu dan bertanya-tanya apakah itu pensil ajaib atau hanya rencana mama agar Sanaf lebih giat belajar. “Mama gak bohong, terimalah!” akhirnya Sanaf menerimanya setelah mendengar pernyataan mama.
Sejak saat itu, Sanaf belajar bersama pensil itu untuk membuktikan apakah pensil itu ajaib. Dugaannya benar, selama mengikuti pelajaran, nilai Sanaf meningkat dan semakin memuaskan. Ia mendapat nilai bagus bahkan pernah tertinggi di kelas. Suatu hari, seseorang mendatangi Sanaf dan bertanya mengenai dirinya yang semakin hari mendapat nilai bagus. “Zimal, aku belajar dengan giat, bukan karena suatu hal apapun!” bohong Sanaf. “Aku gak percaya dan.. apa karena pensil itu kamu menjadi pintar?” Zimal, teman sekelas Sanaf mulai mecurigainya. Sanaf yang tenang menghadapi Zimal tiba-tiba tegang. “Serahkan pensil itu!” pinta Zimal sambil merebut pensil pemberian mama Sanaf. “Gak, ini milikku. Berani sekali kau merebutnya!” terjadilah perebutan pensil antara Sanaf melawan Zimal membuat teman kelas sekitarnya melihat ke arah dua rival tersebut. “Cukup. Aku akan membuktikan bahwa pensil ini ajaib. Kamu selalu memakai pensil ini dan tak pernah mendapat nilai jelek sejak memakai pensil ini. Lihat saja, kamu akan mendapat nilai jelek kembali setelah pensil ini ada di tanganku!” Zimal pergi meninggalkan tatapan liciknya. “Zimal!” Sanaf berteriak dan bersedih sepanjang pelajaran di sekolah.
Bel pulang berbunyi, Sanaf mempercepat langkahnya menuju rumah. Ia langsung memberitahu mama bahwa pensil kebahagiaannya diambil oleh Zimal, teman kelasnya. Mendengar itu, mama tersenyum membuat Sanaf heran. “Mengapa harus bergantung pada pensil itu? Tanpa pensil tersebut, kamu bisa dapat nilai bagus!” ucap mama. “Bagaimana caranya?” , “Kamu harus belajar dengan giat. Berubahlah menjadi lebih baik. Kalau kamu berubah menjadi lebih baik, maka masa depanmu juga akan baik!” jawab mama. Sanaf terdiam mendengar jawaban mama.
“Jadi, itu hanya pensil biasa? Keraguanku selama ini benar. Aku akan berusaha menjadi lebih baik. Aku gak butuh barang apapun untuk menjadi hebat karena hebat itu berasal dari diri sendiri. Maaf kalau Sanaf selama ini malas. Terimakasih mama!” Sanaf memeluk mama tercinta disambut mama yang memeluk dengan erat. Batinnya berkata,”Anakku berubah!”.
Hari ke hari, Sanaf semakin giat belajar menggapai mimpinya. Ia tidak dikenal pemalas, namun dikenal murid terpintar di kelas. “Sanaf, kau..”, tiba-tiba Zimal menghampiri Sanaf. Sanaf hanya menaikkan sebelah alisnya. “Kau.. mengapa bisa? Mengapa nilaimu meningkat tanpa pensil di tangan ini? Aku yang mencoba pensil ini bahkan tak mendapat hasil apapun. Apakah kamu mempunyai kekuatan ajaib? Apa kau curang? Atau..”, “Cukup. Jangan menuduhku seperti itu!” Sanaf mengambil pensil di tangan Zimal lalu membuangnya ke tempat sampah. “Kamu gak harus tergantung dengan pensil itu. Itu hanya pensil biasa!” mendengar itu, Zimal terkejut. “Pensil itu pemberian mamaku. Beliau berbohong bahwa pensil itu ajaib yang akan membantu mendapatkan nilai bagus baik tugas maupun latihan asalkan harus belajar yang giat. Jika tidak, pensil itu tak akan membantu. Tapi semua itu hanya kebohongan. Mama ingin agar aku belajar giat dengan cara seperti itu!” Sanaf menjelaskan tentang pensil tersebut pada Zimal. Suasana menjadi hening.
“Mengapa kita mudah percaya dengan hal seperti itu? Semua orang pasti tahu bahwa untuk meraih sukses harus berdoa dan berusaha. Bukan mempercayai barang seperti itu. Maafkan aku Sanaf, karena pensil tersebut, kita bagaikan musuh!” Zimal mengambil kesimpulan lalu meminta maaf pada Sanaf. “Aku juga minta maaf!” akhirnya, mereka saling bermaafan. Dalam hati Sanaf, ia bersyukur karena ia tidak menjadi pemalas karena mama dan sebuah pensil.
Selesai.

CERPEN HADIAH TERINDAH

Jam berdentang satu kali. Teriknya matahari tidak mencegah ayah Tono untuk tetap bekerja. Tono tinggal bersama ayah dan ibunya di desa dan pekerjaan ayah Tono adalah mencari kayu untuk dijual dengan melakukan pembalakan liar. Ayah Tono tahu bahwa pekerjaannya tersebut merupakan pekerjaan yang ilegal. Ayah Tono juga tahu bahwa perbuatannya bisa menyeret dirinya ke balik jeruji besi. Namun, hanya itu pekerjaan yang dapat dilakukan ayah Tono untuk menghidupi keluarganya.
“Tono, cepat panggil ayahmu untuk makan siang dan lanjutkan pekerjaannya nanti,” kata ibu Tono.
“Ya Bu,” jawab Tono sambil berlari mengambil sepedanya dan mencari ayahnya.
“Ayah, mari kita makan siang dulu!” seru Tono setelah menemukan ayahnya..
“Ya.”
Maka Tono dan ayahnya pulang ke rumah mereka. Tono sebenarnya sedih melihat ayahnya melakukan pekerjaannya tersebut, tetapi meski sudah berkali-kali Tono sarankan pada ayahnya untuk mencari pekerjaan lain, ayahnya tetap melakukan pembalakan liar.
Sesampainya di rumah Tono kembali mencoba untuk menyarankan pada ayahnya supaya ayahnya bisa mencari pekerjaan lain.
“Ayah, apakah Ayah tidak bisa cari pekerjaan lain?”
“Pekerjaan lain apa maksudmu?”
“Pekerjaan yang lebih baik.”
“Tono, dengar ya hanya ini yang bisa Ayah lakukan, Ayah tidak punya modal apapun untuk melakukan pekerjaan lain.”
“Tapi,”
“Sudah syukuri saja apa yang Ayah kerjakan sekarang, lebih baik kamu belajar saja untuk persiapan sekolahmu besok.”
“Baiklah.”
Tono menimba ilmu di suatu sekolah yang tidak dikenakan biaya sepeser pun, karena tersebut diselenggarakan khusus untuk masyarakat dengan ekonomi menengah ke bawah.
Keesokan harinya, Tono belajar IPS di sekolah yaitu tentang pemanasan global.
“Sekarang ini, bumi kita telah dilanda oleh pemanasan global, ada yang tahu artinya?” tanya guru Tono di kelas, tetapi tidak ada satu pun yang menjawab.
“Jadi pemanasan global adalah ozon yang menipis dan ozon adalah lapisan yang melindungi bumi dari sinar matahari, sehingga bumi tidak terkena sinar sang Surya secara langsung,” jelas guru Tono.
“Apa penyebabnya Bu?” tanya salah satu teman Tono
“Banyak penyebabnya dan salah satunya adalah hutan yang gundul akibat penebangan liar.”
Mendengar kata-kata itu, Tono merasa sedih karena dia teringat atas pekerjaan ayahnya.
Sepulang sekolah Tono menceritakan hal itu pada ayahnya.
“Ayah, tadi aku belajar IPS tentang pemanasan global.”
“Lalu?”
“Kata guruku itu diakibatkan oleh penebangan liar.”
“Lalu, apa yang ingin kamu katakan?”
“Bisakah Ayah berhenti menebang pohon?”
“Nak, sudah Ayah katakana kemarin bahwa hanya itu pekerjaan yang bisa Ayah lakukan.”
“Tapi, itu merusak planet kita.”
“JIka Ayah tidak bekerja maka kamu tidak bisa mendapat sesuap nasi, cukup jangan bicarakan ini lagi!”
“Baiklah.”
Sesampainya di rumah, Tono menceritakan tentang pemanasan global pada ibunya juga.
“Ibu?”
“Ya, ada apa?”
“Apakah Ibu tahu tentang pemanasan global?”
“Tentu Ibu tahu.”
“Apa Ibu tahu penyebabnya adalah orang seperti ayah?”
“Apa maksudmu?”
“Pekerjaan ayah menebang pohon, dan kata guruku pemanasan global salah satu penyebabnya adalah penebangan liar.”
“Tono, memang itu salah satu penyebabnya, tapi itulah pekerjaan yang bisa dilakukan ayahmu, bukankah dia pernah menjelaskan ini padamu?”
“Iya pernah.”
“Ya sudah lah, kamu syukuri saja, banyak orang yang hanya melamun karena tidak punya pekerjaan.”
“Tapi Bu, apakah ayah tidak bisa cari pekerjaan lain?”
“Ibu juga inginnya begitu, tapi kamu berdoa saja, supaya ayah bisa dapat pekerjaan yang lebih baik.”
“Ya Bu.”
Keesokan harinya, guru Tono memberikan tugas kelompok untuk murid-muridnya, sehingga Tono haruss pergi ke rumah temannya.
“Ayah, hari ini aku harus pergi ke rumah temanku.”
“Rumah siapa?”
“Rumah Doni, nanti Ayah jemput aku ya.”
“Jam berapa?”
“Kira-kira jam 04.00 sore.”
“Ya.”
Jam berdentang 4 kali, artinya ayah Tono harus segera menjemput Tono di rumah Doni. Sesampainya di rumah Doni, orang tua Doni sedang menonton salah satu acara televisi tentang mulai mencairnya es disebabkan karena panasnya bumi, dan panas bumi disebabkan oleh hutan yang gundul, tetapi apa boleh buat itulah pekerjaan ayah Tono.
“Tono?”
“Ya Ayah?”
“Apa menurutmu Ayah bisa memperbaiki kesalahan Ayah?”
“Kesalahan apa Ayah?”
“Kesalahan Ayah menebang pohon secara liar.”
“Tentu Ayah bisa.”
“Bagaimana caranya?”
“Itu mudah, pertama Ayah harus berhenti dari pekerjaan Ayah yang sekarang dan kedua Ayah harus banyak menanam.”
“Jika Ayah tidak bekerja, lalu bagaimana Ayah menghidupi kamu dan ibumu?”
“Ayah harus cari pekerjaan lain.”
“Tapi, Ayah tidak punya modal apapun.”
“Setidaknya, sekarang ini Ayah harus mengurangi penebangan pohon yang Ayah lakukan, Ayah tebangi saja pohon yang sudah tua.”
“Tapi, jika Ayah hanya menebang pohon yang tua, itu hanya memberi sedikit penghasilan.”
“Tenanglah Yah, Ayah harus terus berdoa supaya mendapat pekerjaan yang lebih baik, dan aku juga sudah mulai menabung, lagi pula pohon yang tua harganya kan justru lebih mahal.”
“Tono, kamu memang anak yang baik, Ayah tidak akan menebang dengan liar lagi.”
Sejak saat itu ayah Tono mengurangi penebangannya, tapi seperti yang dia katakan, penghasilannya menjadi berkurang, maka ayah Tono mulai menebang secara liar lagi, dan Tono mengetahui hal itu.
“Ayah, mengapa Ayah menebang secara liar lagi?”
“Ayah sudah pernah bilang padamu bahwa itu hanya menghasilkan sedikit uang, memang kayu yang sudah tua harganya lebih mahal, tapi hanya sedikit kayu tua di hutan, jadi Ayah harus menebang pohon yang muda juga.”
“Tapi, Ayah sudah berjanji.”
“Maafkan Ayah, Nak, Ayah sudah berdoa, tetapi masih belum juga mendapat jawaban.”
Mendengar hal itu Tono sangat sedih dan hanya bisa terdiam.
Sore itu, karena besoknya adalah hari libur, maka diadakan acara jalan santai untuk seluruh penduduk desa, dan di pengumuman itu dituliskan bahwa acara tersebut disertai doorprize dan bebas biaya. Melihat hal itu, Tono tertarik untuk ikut maka ia pulang dan memberi tahu ibunya dan ayahnya.
“Ibu!”
“Ya?”
“Di mana Ayah?”
“Ada apa?”
“Tadi aku lihat pengumuman dan besok ada acara jalan santai, kita ikut ya Bu, ada doorprizenya juga, kalau dapat bisa untuk modal ayah.”
“Ya, beri tahu ayahmu.”
Maka Tono memberi tahu ayahnya.
“Ayah, besok ada acara jalan santai, kita ikut ya.”
“Berapa biayanya?”
“Tidak dikenakan biaya.”
“Baiklah.”
Maka keesokan harinya Tono, ayahnya, dan ibunya pergi mengikuti acara tersebut. Karena Tono bertiga, maka mereka mendapat 3 nomor undian. Akhirnya, setelah jalan santai, acara yang ditungu-tunggu pun tiba, pembacaan nomor undian. Satu per satu nomor dibacakan dan Tono belum mendengar salah satu dari nomornya dibacakan. Akhirnya, nomor Tono disebut ketika hadiahnya sepeda motor. Tono dan keluarganya sangat senang.
“Ayah, apa yang akan kita lakukan dengan sepeda motor ini? Tanya Tono sesampainya di rumah.
“Entahlah.”
“Bagaimana kalau kita jual?”
“Untuk apa?”
“Jadi uangnya bisa Ayah gunakan untuk modal usaha kecil-kecilan.”
“Itu ide bagus.”
Maka motor itu pun terjual, tetapi ayah Tono masih bingung usaha apa yang akan dia kembangkan.
“Tono?”
“Ya Ayah?”
“Menurutmu usaha apa yang Ayah harus rintis?”
“Sebaiknya usaha yang bisa menyelamatkan bumi.”
“Usaha apa itu?”
“Toko bunga.”
“Bagaimana usaha itu bisa menyelamatkan bumi?” tanya ayah Tono dengan bingung karena mendengar ide Tono.
“Tentu saja, karena kita menanam bunga..”
“Lalu?”
“Dengan menanam kita menambah lapisan ozon dan bunganya bisa kita jual.”
“Apakah uangnya cukup?”
“Tentu saja, Ayah?”
“Ayah tidak yakin itu akan sukses.”
“Kita harus yakin, Ayah.”
“Baiklah, Ayah percaya padamu.”
Maka mereka pun memulai usaha mereka. Awal-awal memang usaha mereka tidak terlalu lancer, tentu banyak juga masalah seperti tidak ada pelanggan, tetapi lama kelamaan usaha mereka dapat berjalan dengan lancar. Ayah Tono juga melakukan reboisasi kecil di hutan yang dulu ditebanginya. Sedikit demi sedikit hal itu mengurangi pemanasan global.
“Ayah, aku sudah katakan usaha ini akan sukses.”
“Iya, Ayah mengambil keputusan yang benar untuk mempercayaimu.”
“Ini semua karena hadiah sepeda motor dari acara waktu itu.”
“Bukan, Nak, ini karena kamu.”
“Karena aku?”
“Ya, karena kamu, Ayah bisa mempunyai keyakinan untuk memulai usaha baru dan memperbaiki kesalahan Ayah, kamu adalah hadiah terindah dari Tuhan yang pernah Ayah dapatkan, Ayah sangat bangga padamu,” kata ayah Tono sambil memeluk Tono
“Terima kasih Ayah, untuk semuanya.”
Maka dengan sadarnya ayah Tono, pemanasan global akan berkurang, meskipun hanya sedikit, tetapi jika setiap orang di dunia melakakukan penanaman kembali dan membuang sampah pada tempatnya, maka dampak positif yang besar akan terjadi di bumi ini.

...